Kancil Dan Buaya
Suatu hari, ada kancil yang sedang mencari makan di hutan. Tetapi ada seekor buaya yang mengintipnya di sebuah sungai. Si buaya merasa perutnya sedang lapar, jadi ia hendak membuntuti si kancil lalu menjadikannya sebagai santapan siangnya.
Si kancil rupanya hendak menyeberangi sungai. Ia terus berjalan mengikuti arah arus sungai tersebut, namun rupanya sungai itu tidak terbelah oleh benda apapun. Si kancil kebingungan, dan ia segera mencari akal.
Si kancil yang sedang diam di tepi sungai di datangi oleh si buaya. Lalu si buaya berkata "Hai kancil kecil, apa kau tahu? Sekarang aku sedang lapar, dan aku akan segera memakanmu". Si kancil pun berkata demikian "Baik, kalau perlu panggilkan teman-temanmu yang lain agar bisa ikut menikmati dagingku".
Si buaya lalu memanggil kawanannya. Mereka tertawa terbahak-bahak karena seekor kancil sedang menawarkan dirinya sendiri agar menjadi makanan mereka. "Baiklah, sekarang yang harus kalian lakukan adalah berbaris" kata si kancil. Para buaya itu berkata "Untuk apa kami berbaris?". Si kancil pun menjawab "Aku harus menghitung jumlah kalian agar kalian semua mendapat jatah daging yang adil".
Para buaya semakin senang rupanya. Lalu mereka pun menuruti perintah si kancil, mereka mulai berbaris sejajar dengan arah berdirinya si kancil. Lalu saat itu juga si kancil mulai melompat melewati para buaya sambil berhitung "1... 2... 3... 4..." dan seterusnya hingga si kancil pun berhasil menyeberangi sungai itu.
Lalu para buaya pun menagih janji si kancil. "Mana jatahku" kata salah satu buaya, dan buaya lain pun ikut menagih janjinya. Namun si kancil berkata "Kalian para buaya, sebenarnya aku tidak berniat untuk memberikan dagingku sebagai santapan kalian! Aku hanya memanfaatkan kalian agar aku bisa menyeberangi sungai ini, hahaha....." kata kancil sambil berlari pergi dari para buaya itu.
Amanat: Jangan mudah ditipu oleh orang yang berniat buruk terhadap kita.
Di sebuah desa tak jauh dari gunung Bromo, hiduplah seorang gadis yang cantik jelita. Namanya Rara Anteng. Konon, ketika gadis itu di lahirkan, tidak menangis seperti bayi pada umumnya. Oleh karena itu, ia dinamakan Rara Anteng. Kata orang Jawa anteng artinya tidak banyak bergerak atau tenang.
Si kancil rupanya hendak menyeberangi sungai. Ia terus berjalan mengikuti arah arus sungai tersebut, namun rupanya sungai itu tidak terbelah oleh benda apapun. Si kancil kebingungan, dan ia segera mencari akal.
Si kancil yang sedang diam di tepi sungai di datangi oleh si buaya. Lalu si buaya berkata "Hai kancil kecil, apa kau tahu? Sekarang aku sedang lapar, dan aku akan segera memakanmu". Si kancil pun berkata demikian "Baik, kalau perlu panggilkan teman-temanmu yang lain agar bisa ikut menikmati dagingku".
Si buaya lalu memanggil kawanannya. Mereka tertawa terbahak-bahak karena seekor kancil sedang menawarkan dirinya sendiri agar menjadi makanan mereka. "Baiklah, sekarang yang harus kalian lakukan adalah berbaris" kata si kancil. Para buaya itu berkata "Untuk apa kami berbaris?". Si kancil pun menjawab "Aku harus menghitung jumlah kalian agar kalian semua mendapat jatah daging yang adil".
Para buaya semakin senang rupanya. Lalu mereka pun menuruti perintah si kancil, mereka mulai berbaris sejajar dengan arah berdirinya si kancil. Lalu saat itu juga si kancil mulai melompat melewati para buaya sambil berhitung "1... 2... 3... 4..." dan seterusnya hingga si kancil pun berhasil menyeberangi sungai itu.
Lalu para buaya pun menagih janji si kancil. "Mana jatahku" kata salah satu buaya, dan buaya lain pun ikut menagih janjinya. Namun si kancil berkata "Kalian para buaya, sebenarnya aku tidak berniat untuk memberikan dagingku sebagai santapan kalian! Aku hanya memanfaatkan kalian agar aku bisa menyeberangi sungai ini, hahaha....." kata kancil sambil berlari pergi dari para buaya itu.
Amanat: Jangan mudah ditipu oleh orang yang berniat buruk terhadap kita.
Asal Mula Gunung Batok
Pegungungan
Tengger dan gunung Bromo terletak di sebelah timur kota Malang, Jawa
Timur. Pada zaman dahulu, keadaan di Tengger jauh berbeda dengan
sekarang. Nama Tengger belum lagi di kenal. Gunung Batok juga belum ada.
Di sebuah desa tak jauh dari gunung Bromo, hiduplah seorang gadis yang cantik jelita. Namanya Rara Anteng. Konon, ketika gadis itu di lahirkan, tidak menangis seperti bayi pada umumnya. Oleh karena itu, ia dinamakan Rara Anteng. Kata orang Jawa anteng artinya tidak banyak bergerak atau tenang.
Banyak
jejaka yang melamar Rara Anteng, tetapi semuanya ditolak. Tersebutlah
seorang raksasa yang buruk mukanya lagi bengis. Matanya besar sekali.
Kumis, janggut, dan cambangnya amat lebat. Raksasa itu pun melamar Rara
Anteng. Rara Anteng takut sekali, ia takut menyatakan penolakannya
karena raksasa itu pasti akan marah.
Kata Rara Anteng, "Hai raksasa, aku mau kau persunting, asalkan kau bersedia memenuhi permintaanku!"
"Ha, ha, ha,... !" tawa raksasa itu menggelegar. "Katakan cepat, permintaanmu pasti akan ku laksanakan!"
"Ubahlah
gunung Bromo ini menjadi sebuah danau yang harus kau selesaikan dalam
waktu semalam" kata Rara Anteng. "Sebelum fajar menyingsing dan sebelum
ayam jantan berkokok, danau itu harus sudah kau siapkan agar dapat ku
pakai mandi".
Rara Anteng berpikir raksasa itu tidak mungkin melaksanakan permintaannya dalam waktu yang sesingkat itu.
Tanpa
banyak bicara, raksasa itu mulai bekerja. Ia menggali danau di sekitar
gunung bromo itu saja. Dengan sebuah batok atau tempurung yang cukup
besar, ia melempar tanah dan batu-batu. Sepanjang malam terdengar bunyi
gemuruh. Pohon-pohon di hutan itu sebatang demi sebatang di cabuti dan
di lemparkan ke laut Selatan. Binatang-binatang buas pun lari ketakutan.
Rara
Anteng amat gelisah. Ternyata raksasa itu amat giat. Malam masih
panjang, tetapi pekerjaan raksasa itu hampir selesai. Rara Anteng
mencari akal. Hari masih malam, di luar gelap pekat. Dengan
tergopoh-gopoh Rara Anteng pergi ke lumbung. Ia mengambil alu, lalu
mulai menumbuk padi. Perempuan-perembuan desa bangun semuanya. Mereka
pun ikut menumbuk padi.
Mendengan
suara orang-orang menumbuk padi itu ayam-ayam jantan pun terkejut. Ayam
jantan di seluruh desa pun berkokok bersahut-sahutan.
Alangkah
terkejutnya raksasa itu mendengar ayam jantan berkokok dan bunyi alu
yang berdentang-dentang. Ia bangkit memandang ke arah timur. Ternyata
hari masih gelap. Ia juga tidak melihat sinar matahari pada waktu fajar.
Tinggal
sebatok lagi tanah galian yang harus di pindahkan. Tubuh raksasa itu
tiba-tiba menjadi lemas. Tak kuasa ia melemparkan batok penuh gaalian
tanah yang terakhir. Robohlah raksasa itu ke tanah.
"O...,
Rara Anteng, Rara Anteng....,,,,,"keluh raksasa itu. Batok dan tanah
galian itu menutupi tubuhnya dan jadilah sebuah gunung bernama Gunung
Batok.
Danau
di sekitar gunung Batok hampir selesai, tetapi belum sempat di isi air.
Sekarang danau itu di sebut Segara Wedi, yang berarti laut pasir karena
danau itu penuh dengan pasir.
Akhirnya, pada suatu hari yang baik, Rara Anteng menikah dengan Joko Tengger. Begitulah asal mula daerah itu di sebut Tengger.
Raja Kambing Barat Dan Kambing Timur
Pada
zaman dahulu, ada dua kerajaan kambing yang saling bermusuhan. Yang
satu berada di wilayah barat dan dinamakan kerajaan kambing barat, dan
yang satunya lagi berada di wilayah timur dan dinamakan kerjaan kambing
timur.
Kedua
kerajaan kambing itu dipisahkan oleh sebuah sungai yang sangat besar,
sangat dalam, dan sangat panjang, serta tidak berujung. Para kambing itu
tidak bisa berperang karena takut akan mati terbawa arus sungai yang
sangat besar dan airnya yang dalam itu. Para kambing sering minum di
pinggir sungai tersebut, karena tidak ada kambing yang dapat selamat
jika menyeberangi sungai besar itu.
Suatu
hari, saat sedang hujan lebat, sebatang pohon yang besar dan tinggi
terkena petir, lalu pohon itu pun tumbang dan menjadi jembatan antara
wilayah barat dan timur. Sang raja kambing dari wilayah barat yang
bertubuh besar dan gemuk pun mulai menyeberangi sungai, dan raja dari
wilayah timur yang berjanggut pun ikut menyeberangi sungai tersebut.
Saat di tengah-tengah sungai, mereka pun berhenti. Mereka bertengkar,
hingga akhirnya sang raja dari barat merubuhkan batang pohonnya, dan
mereka berdua mati tenggelam dan terbawa oleh arus air sungai yang dalam
tersebut.
Setelah
kejadian itu, kedua wilayah kambing tersebut tidak mempunyai raja lagi,
dan para rakyat kambing pun hidup dengan tenang tanpa adanya
peperangan.
Kepiting Karang Dan Rajungan
Seekor kepiting dan seekor rajungan yang bersahabat bernama Teni dan Rini. Mereka tinggal bersama di pinggir laut, di balik bebatuan. Mereka
sering bersembunyi karena takut pada orang-orang yang mencari ikan dan
kepiting. Apabila laut pasang, mereka bermain tanpa takut akan
ditangkap manusia.
Pada suatu malam, ketika bulan purnama, Teni dan Rini keluar menikmati keindahan alam.
” Sahabat, bagaimana kalau kita hiasi punggung kita agar kelihatan menarik ?” kata Reni.
”Bagus sekali idemu. Kita memang perlu mempercantik diri agar kelihatan menarik. Tapi, bagaimana caranya ? ” tanya Rini.
”Bagini.”sahut Teni, ”Kita lukis punggung kita dengan cat warna-warni yang menarik.”
” Wah, menarik sekali.Bagaimana kalau aku dulu yang dilukis. Boleh atau tidak ? tanya Rini.
”Baiklah.”kata Teni.
Teni mulai mengukir punggung Rini. Punggung Rini dihiasi dengan bulatan-bulatan dari muka ke belakang, dan dari atas ke bawah. Lukisan itu sangat mempesona.
”Sudah selesai sahabat.”kata Teni. Rini bercermin pada di air laut yang jernih.
“Bagus, bukan?”tanya Teni.
“Bagus sekali. Terima kasih sahabat.”kata Rini,
”Sekarang giliranku.”kata Teni.
Tiba-tiba air laut surut. Datanglah pencari ikan membawa obor. Mereka pun terkejut. Berlarilah mereka untuk menghindari bahaya.
”Maaf, sahabat. Orang-orang sudah datang untuk menangkap kita. Tidak ada waktu lagi untuk melukis punggungmu.” kata Rini.
”Tidak punggungku harus kamu ukir!” teriak Teni.
Melihat
obor-obor semakin dekat, Rini menggambari punggung Teni dengan kuas
dan cat tanpa bentuk. Punggung Teni sekarang penuh warna hitam karena
tergesa-gesa hendak menyelamatkan diri.
Teni terpaksa menerima keadaan. Keduanya berkawan dalam bentuk yang amat berbeda, Rini cantik dan Teni yang jelek.
Petani Dan Burung Pipit
Suatu
hari, tinggallah seorang petani yang baik dan murah hati. Pada saat
petani itu pergi ke sawahnya, dan ia menemukan seekor burung pipit yang
kakinya patah, burung itu tidak bisa terbang. Sang petani merasa
kasihan, dan ia pun membawa burung itu ke rumahnya yang sederhana itu.
Sang petani langsung mengobati dan memakaikan perban pada kaki burung
tersebut. Setelah beberapa hari ia rawat, burung pipit itu ia lepaskan
kembali ke alam bebas. Petani itu merasa sangat senang karena burung itu
bisa kembali terbang.
Beberapa
hari kemudian, pada saat petani itu sedang mengairi sawah dan mencabuti
rumput liar, ia di datangi oleh burung pipit kecil yang telah ia tolong
itu, dan burung itu membawa tiga buah biji semangka pada paruhnya, dan
memberikannya pada petani itu. Setelah itu burung itu pun pergi, dan
petani itu sangat berterimakasih kepada burung.
Besoknya,
sang petani menanam biji-biji semangka itu di dekat rumahnya. Setelah
ia mengurus bibit pohon semangka itu, pohon semangka itu pun tumbuh.
Semakin lama pohon itu semakin besar, dan akhirnya berbuah. Petani itu
sangat senang, dan ia mengambil ketiga buah semangka itu.
Pada saat ia membelah buah semangka yang pertama, keluarlah beberapa bongkah emas dan berlian yang berkilauan. Petani itu merasa sangat kaget bercampur senang, dan ia lalu membelah semangka yang kedua. Ternyata isinya adalah bahan-bahan bangunan. Petani itu merasa sangat bahagia, lalu ia membelah semangka terakhir. Ternyata keluarlah para pekerja yang siap membangun istana yang megah untuk ia tinggali.
Pada saat ia membelah buah semangka yang pertama, keluarlah beberapa bongkah emas dan berlian yang berkilauan. Petani itu merasa sangat kaget bercampur senang, dan ia lalu membelah semangka yang kedua. Ternyata isinya adalah bahan-bahan bangunan. Petani itu merasa sangat bahagia, lalu ia membelah semangka terakhir. Ternyata keluarlah para pekerja yang siap membangun istana yang megah untuk ia tinggali.
Akhirnya,
karena kebaikan dan ketulusan petani itu, sekarang ia menjadi orang
yang sangat kaya raya. Ia tinggal di istana yang sangat megah dan hidup
dengan tenang. Ia selalu membagikan hartanya kepada orang yang
kekurangan dan selalu menolong orang yang butuh pertolongannya.
Kura - Kura Dan Monyet
Suatu
hari di tengah kebun di dekat rawa, tinggallah seekor kura-kura yang
baik hati. Ia memiliki sebatang pohon pisang yang telah berbuah banyak.
Ia sudah lama ingin memakan buah pisang yang terlihat matang itu, tetapi
ia tidak bisa memanjat pohon pisang yang tinggi itu.
Ia
kebingungan memikirkan bagaimana caranya agar bisa mengambil buah
pisang itu. Setelah berpikir, ia menemukan ide. Ia memanggil temannya
yang adalah seekor monyet, dan ia menyuruh monyet itu untuk memanjat dan
mengambil buah pisang, dan ia akan di beri setengah dari hasilnya.
Monyet pun setuju dan ia mulai memanjat pohon pisang.
Setelah
sampai, monyet langsung mengambil buah pisang yang paling besar, lalu
memakannya. kura-kura berkata "hai monyet, cepatlah ambil buah pisang
itu dan nanti kita makan di bawah sini". Si monyet berkata "tunggu dulu
kura-kura, aku sedang mencicipinya". Tetapi, si monyet terus memakan dan
memakan buah pisang milik kura-kura. Kura-kura berkata lagi dengan
wajah lapar "hai monyet, ayolah, berikan sebuah untukku". Tetapi si
monyet terus melahap buah pisang itu.
Si
kura-kura merasa jengkel dan tidak di pedulikan. Lalu ia pun pergi
dengan rasa jengkel. Setelah si monyet memakan buah terakhir, ia lalu
bertanya "hai kura-kura, di mana engkau berada?", tetapi kura-kura tidak
menjawab, Si monyet merasa perutnya terlalu kenyang, dan ia merasa
sakit perut.
Gagak Dan Cendrawasih
Dahulu
kala, burung gagak dan cendrawasih adalah saudara. Mereka tinggal di
dalam hutan yang lebat dan asri. Dahulu, bulu burung gagak dan
cendrawasih memiliki bulu berwarna putih dan indah. Setiap hari mereka
selalu bersama. Siang hari mereka terbang ke pohon-pohon, dan menikmati
keindahan hutan itu.
Meskipun
mereka adalah saudara, gagak dan cendrawasih memiliki sifat yang sangat
berbeda. Cendrawasih selalu mandi dengan air bersih dari sungai,
sedangkan gagak selalu bermain di tempat yang kotor dan berlumpur. Bulu
gagak pun tidak pernah ia urus, sehingga warnanya kusam dan berbeda
dengan bulu cendrawasih. Cendrawasih selalu memakan buah-buahan yang
rasanya manis, sedangkan gagak lebih suka makan bangkai binatang.
Cendrawasih
sering memperingati gagak agar hidup bersih, tetapi gagak tidak pernah
mau mendengarnya. Ia lebih suka bermain di tempat kotor dan makan
bangkai binatang. Ia juga sering berkeliaran di hutan tanpa takut ada
pemburu yang menangkapnya.
Suatu
hari, cendrawasih memiliki ide, ia ingin agar bulu mereka dicat,
sehingga mereka memiliki bulu paling indah di antara burung lain.
Cendrawasih pun memanggil gagak, dan berkata "hai gagak, maukah kau
mengecat buluku? sebagai gantinya aku akan mengecat juga bulumu" ucap
cendrawasih. "Oh, kalau begitu baiklah, aku duluan yang akan mengecat
bulumu" ucap gagak.
Gagak
pun mengecat bulu cendrawasih dengan berbagai warna cat. Gagak mengecat
bulu cendrawasih selama berjam-jam dengan sangat teliti. Dan setelah
selesai, cendrawasih melihat hasil pekerjaan gagak, dan berkata "Oh
gagak, engkau sangat baik kepadaku. Lihatlah hasilnya, buluku menjadi
sangat indah dan anggun. Terima kasih gagak, engkau adalah sahabatku
yang paling baik. Sekarang aku akan mengecat bulumu seindah buluku" ucap
cendrawasih.
Saat
cendrawasih mulai mengecat bulu gagak, gagak melihat seekor bangkai
anjing yang tergeletak di dekat danau. Ia ingin sekali mengambil bangkai
itu, tetapi terlalu jauh untuk di ambil. Lalu gagak berkata
"Cendrawasih, kenapa kau lama sekali mengecat buluku? aku sudah tidak
sabar ingin memakan bangkai anjing itu, ayolah, cepat cendrawasih..."
ucap gagak kepada cendrawasih. "Tenang, sabar gagak, aku akan mengecat
bulumu seindah buluku" ucap cendrawasih kepada gagak. "Ah, sudahlah,
kalau begitu cat saja buluku dengan warna hitam" kata gagak. Lalu
cendrawasih pun mengecat bulu gagak sesuai keinginan gagak. "Nah,
selesai" ucap cendrawasih. Gagak pun langsung terbang ke danau dan
mengambil bangkai anjing itu, lalu memakannya.
Tetapi apa yang terjadi? gagak sangat menyesal karena ia serakah, dan mengambil resiko bulunya menjadi buruk. "Mengapa sekarang buluku menjadi berwarna hitam, aku tidak mau, aku ingin buluku kembali" ucap gagak. Sampai sekarang, burung gagak memiliki bulu yang berwarna hitam, sedangkan cendrawasih memiliki bulu yang sangat indah.
Tetapi apa yang terjadi? gagak sangat menyesal karena ia serakah, dan mengambil resiko bulunya menjadi buruk. "Mengapa sekarang buluku menjadi berwarna hitam, aku tidak mau, aku ingin buluku kembali" ucap gagak. Sampai sekarang, burung gagak memiliki bulu yang berwarna hitam, sedangkan cendrawasih memiliki bulu yang sangat indah.
Alladin
Dahulu
kala, di kota Persia, seorang Ibu tinggal dengan anak laki-lakinya yang
bernama Aladin. Suatu hari datanglah seorang laki-laki mendekati Aladin
yang sedang bermain. Laki-laki itu mengajak Aladin pergi ke luar kota.
Jalan yang ditempuh sangat jauh. Aladin mengeluh kepada lelaki itu,
tetapi ia malah dibentak dan disuruh untuk mencari kayu bakar, kalau
tidak maka Aladin akan dibunuh olehnya. Aladin akhirnya sadar bahwa
laki-laki itu adalah seorang penyihir. Laki-laki penyihir itu kemudian
menyalakan api dengan kayu bakar dan mulai mengucapkan mantera. “Kraak…”
tiba-tiba tanah menjadi berlubang seperti gua.
Dalam lubang gua itu terdapat tangga sampai ke dasarnya. “Ayo turun! Ambilkan aku lampu antik di dasar gua itu”, seru si penyihir. “Tidak, aku takut turun ke sana”, jawab Aladin. Penyihir itu kemudian mengeluarkan sebuah cincin dan memberikannya kepada Aladin. “Ini adalah cincin ajaib, cincin ini akan melindungimu”, kata si penyihir. Akhirnya Aladin menuruni tangga itu dengan perasaan takut. Setelah sampai di dasar ia menemukan pohon-pohon berbuah berlian. Setelah buah permata dan lampu yang ada di situ dibawanya, ia segera menaiki tangga kembali. Tetapi, pintu lubang sudah tertutup sebagian. “Cepat berikan lampunya !”, seru penyihir. “Tidak! Lampu ini akan kuberikan setelah aku keluar”, jawab Aladin. Setelah berdebat, si penyihir menjadi tidak sabar dan akhirnya “Brak!” pintu lubang ditutup oleh si penyihir lalu ia meninggalkan Aladin di dalam lubang. Aladin menjadi sedih, dan duduk termenung. “Aku lapar, aku ingin bertemu ibu, Tuhan, tolonglah aku!”, ucap Aladin.
Aladin merapatkan kedua tangannya dan mengusap jari-jarinya. Tiba-tiba, sekelilingnya ada asap membumbung. Bersamaan dengan itu muncul seorang raksasa. Aladin sangat ketakutan. “Maafkan saya, karena telah mengagetkan Tuan”, saya adalah peri cincin", kata raksasa itu. “Oh, kalau begitu bawalah aku pulang kerumah.” Jawab Aladin. “Baik Tuan, naiklah ke punggungku, kita akan segera pergi dari sini”, ujar peri cincin. Dalam waktu singkat, Aladin sudah sampai di depan rumahnya. “Kalau tuan memerlukan saya panggillah dengan menggosok cincin Tuan.”
Aladin menceritakan semua hal yang di alaminya kepada ibunya. “Mengapa penyihir itu menginginkan lampu kotor ini ya?”, kata Ibu sambil menggosok membersihkan lampu itu. “Syut !” Tiba-tiba asap membumbung dan muncul seorang raksasa peri lampu. “Sebutkanlah perintah Nyonya”, kata si peri lampu. Aladin yang sudah pernah mengalami hal seperti ini memberi perintah, ”kami lapar, tolong siapkan makanan untuk kami”. Dalam waktu singkat peri Lampu membawa makanan yang lezat-lezat kemudian menyuguhkannya. “Jika ada yang diinginkan lagi, panggil saja saya dengan menggosok lampu itu”, kata si peri lampu.
Demikian hari, bulan, bahkan tahun pun berganti, Aladin hidup bahagia dengan ibunya. Aladin sekarang sudah menjadi seorang pemuda. Suatu hari lewat seorang Putri Raja di depan rumahnya. Ia sangat terpesona dan merasa jatuh cinta kepada Putri Cantik itu. Aladin lalu menceritakan keinginannya kepada ibunya untuk mempersunting putri raja. “Tenang Aladin, Ibu akan mengusahakannya”. Ibu pergi ke istana raja dengan membawa berlian milik Aladin. “Baginda, ini adalah hadiah untuk Baginda dari anak laki-lakiku.” Raja amat senang. “Wah…, anakmu pasti seorang pangeran yang tampan, besok aku akan datang ke Istana kalian dengan membawa serta putriku”.
Setelah tiba di rumah Ibu segera menggosok lampu dan meminta peri lampu untuk membawakan sebuah istana. Aladin dan ibunya menunggu di atas bukit. Tak lama kemudian peri lampu datang dengan Istana megah di punggungnya. “Tuan, ini Istananya”. Besoknya sang Raja dan putrinya datang berkunjung ke Istana Aladin yang sangat megah. “Maukah engkau menjadikan anakku sebagai istrimu ?”, tanya sang Raja. Aladin sangat gembira mendengarnya. Lalu mereka berdua melaksanakan pesta pernikahan.
Nan jauh disana, si penyihir ternyata melihat semua kejadian itu melalui bola kristalnya. Ia lalu pergi ke tempat Aladin dan pura-pura menjadi seorang penjual lampu di depan Istana Aladin. Ia berteriak-teriak, “tukarkan lampu lama anda dengan lampu baru!”. Sang permaisuri yang melihat lampu ajaib Aladin yang usang segera keluar dan menukarkannya dengan lampu baru. Segera si penyihir menggosok lampu itu dan memerintahkan peri lampu memboyong istana beserta isinya dan istri Aladin ke rumahnya.
Ketika Aladin pulang dari berkeliling, ia sangat terkejut. Lalu memanggil peri cincin dan bertanya kepadanya apa yang telah terjadi. “Kalau begitu tolong kembalikan lagi semuanya kepadaku”, seru Aladin. “Maaf Tuan, tenaga saya tidaklah sebesar peri lampu,” ujar peri cincin. “Baik kalau begitu aku yang akan mengambilnya. Tolong antarkan aku ke sana”, seru Aladin. Sesampainya di Istana, Aladin menyelinap masuk mencari kamar tempat sang putri dikurung. “Penyihir itu sedang tidur.” , ujar sang putri. “Baik, jangan kuatir, aku akan mengambil kembali lampu ajaib itu, dan kita nanti akan menang”, jawab Aladin.
Aladin mengendap mendekati penyihir itu saat ia sedang tidur. Ternyata lampu ajaib terlihat dari kantungnya. Aladin kemudian mengambilnya dan segera menggosoknya. “Singkirkan penjahat ini” seru Aladin kepada peri lampu. Penyihir terbangun, lalu menyerang Aladin. Tetapi peri lampu langsung membanting penyihir itu hingga tewas. “Terima kasih peri lampu, bawalah kami dan Istana ini kembali ke Persia”. Sesampainya di Persia Aladin hidup bahagia. Ia mempergunakan sihir dari peri lampu untuk membantu orang-orang miskin dan kesusahan.
Dalam lubang gua itu terdapat tangga sampai ke dasarnya. “Ayo turun! Ambilkan aku lampu antik di dasar gua itu”, seru si penyihir. “Tidak, aku takut turun ke sana”, jawab Aladin. Penyihir itu kemudian mengeluarkan sebuah cincin dan memberikannya kepada Aladin. “Ini adalah cincin ajaib, cincin ini akan melindungimu”, kata si penyihir. Akhirnya Aladin menuruni tangga itu dengan perasaan takut. Setelah sampai di dasar ia menemukan pohon-pohon berbuah berlian. Setelah buah permata dan lampu yang ada di situ dibawanya, ia segera menaiki tangga kembali. Tetapi, pintu lubang sudah tertutup sebagian. “Cepat berikan lampunya !”, seru penyihir. “Tidak! Lampu ini akan kuberikan setelah aku keluar”, jawab Aladin. Setelah berdebat, si penyihir menjadi tidak sabar dan akhirnya “Brak!” pintu lubang ditutup oleh si penyihir lalu ia meninggalkan Aladin di dalam lubang. Aladin menjadi sedih, dan duduk termenung. “Aku lapar, aku ingin bertemu ibu, Tuhan, tolonglah aku!”, ucap Aladin.
Aladin merapatkan kedua tangannya dan mengusap jari-jarinya. Tiba-tiba, sekelilingnya ada asap membumbung. Bersamaan dengan itu muncul seorang raksasa. Aladin sangat ketakutan. “Maafkan saya, karena telah mengagetkan Tuan”, saya adalah peri cincin", kata raksasa itu. “Oh, kalau begitu bawalah aku pulang kerumah.” Jawab Aladin. “Baik Tuan, naiklah ke punggungku, kita akan segera pergi dari sini”, ujar peri cincin. Dalam waktu singkat, Aladin sudah sampai di depan rumahnya. “Kalau tuan memerlukan saya panggillah dengan menggosok cincin Tuan.”
Aladin menceritakan semua hal yang di alaminya kepada ibunya. “Mengapa penyihir itu menginginkan lampu kotor ini ya?”, kata Ibu sambil menggosok membersihkan lampu itu. “Syut !” Tiba-tiba asap membumbung dan muncul seorang raksasa peri lampu. “Sebutkanlah perintah Nyonya”, kata si peri lampu. Aladin yang sudah pernah mengalami hal seperti ini memberi perintah, ”kami lapar, tolong siapkan makanan untuk kami”. Dalam waktu singkat peri Lampu membawa makanan yang lezat-lezat kemudian menyuguhkannya. “Jika ada yang diinginkan lagi, panggil saja saya dengan menggosok lampu itu”, kata si peri lampu.
Demikian hari, bulan, bahkan tahun pun berganti, Aladin hidup bahagia dengan ibunya. Aladin sekarang sudah menjadi seorang pemuda. Suatu hari lewat seorang Putri Raja di depan rumahnya. Ia sangat terpesona dan merasa jatuh cinta kepada Putri Cantik itu. Aladin lalu menceritakan keinginannya kepada ibunya untuk mempersunting putri raja. “Tenang Aladin, Ibu akan mengusahakannya”. Ibu pergi ke istana raja dengan membawa berlian milik Aladin. “Baginda, ini adalah hadiah untuk Baginda dari anak laki-lakiku.” Raja amat senang. “Wah…, anakmu pasti seorang pangeran yang tampan, besok aku akan datang ke Istana kalian dengan membawa serta putriku”.
Setelah tiba di rumah Ibu segera menggosok lampu dan meminta peri lampu untuk membawakan sebuah istana. Aladin dan ibunya menunggu di atas bukit. Tak lama kemudian peri lampu datang dengan Istana megah di punggungnya. “Tuan, ini Istananya”. Besoknya sang Raja dan putrinya datang berkunjung ke Istana Aladin yang sangat megah. “Maukah engkau menjadikan anakku sebagai istrimu ?”, tanya sang Raja. Aladin sangat gembira mendengarnya. Lalu mereka berdua melaksanakan pesta pernikahan.
Nan jauh disana, si penyihir ternyata melihat semua kejadian itu melalui bola kristalnya. Ia lalu pergi ke tempat Aladin dan pura-pura menjadi seorang penjual lampu di depan Istana Aladin. Ia berteriak-teriak, “tukarkan lampu lama anda dengan lampu baru!”. Sang permaisuri yang melihat lampu ajaib Aladin yang usang segera keluar dan menukarkannya dengan lampu baru. Segera si penyihir menggosok lampu itu dan memerintahkan peri lampu memboyong istana beserta isinya dan istri Aladin ke rumahnya.
Ketika Aladin pulang dari berkeliling, ia sangat terkejut. Lalu memanggil peri cincin dan bertanya kepadanya apa yang telah terjadi. “Kalau begitu tolong kembalikan lagi semuanya kepadaku”, seru Aladin. “Maaf Tuan, tenaga saya tidaklah sebesar peri lampu,” ujar peri cincin. “Baik kalau begitu aku yang akan mengambilnya. Tolong antarkan aku ke sana”, seru Aladin. Sesampainya di Istana, Aladin menyelinap masuk mencari kamar tempat sang putri dikurung. “Penyihir itu sedang tidur.” , ujar sang putri. “Baik, jangan kuatir, aku akan mengambil kembali lampu ajaib itu, dan kita nanti akan menang”, jawab Aladin.
Aladin mengendap mendekati penyihir itu saat ia sedang tidur. Ternyata lampu ajaib terlihat dari kantungnya. Aladin kemudian mengambilnya dan segera menggosoknya. “Singkirkan penjahat ini” seru Aladin kepada peri lampu. Penyihir terbangun, lalu menyerang Aladin. Tetapi peri lampu langsung membanting penyihir itu hingga tewas. “Terima kasih peri lampu, bawalah kami dan Istana ini kembali ke Persia”. Sesampainya di Persia Aladin hidup bahagia. Ia mempergunakan sihir dari peri lampu untuk membantu orang-orang miskin dan kesusahan.
Malin Kundang
Pada
suatu hari, hiduplah sebuah keluarga di pesisir pantai wilayah
Sumatra. Keluarga itu mempunyai seorang anak yang diberi nama Malin
Kundang. Karena kondisi keluarga mereka sangat memprihatinkan, maka
ayah malin memutuskan untuk pergi ke negeri seberang.
Setelah
berbulan-bulan lamanya ternyata ayah malin tidak kunjung datang, dan
akhirnya pupuslah harapan Malin Kundang dan ibunya.
Setelah
Malin Kundang beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari nafkah di
negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung
halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Akhirnya Malin
Kundang ikut berlayar bersama dengan seorang nahkoda kapal dagang di
kampung halamannya yang sudah sukses.
Selama
berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran
pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Malin belajar dengan
tekun tentang perkapalan pada teman-temannya yang lebih berpengalaman,
dan akhirnya dia sangat mahir dalam hal perkapalan.
Banyak
pulau sudah dikunjunginya, sampai dengan suatu hari di tengah
perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh
bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal
dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang
yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin
Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut,
karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah
ruang kecil yang tertutup oleh kayu.
Malin
Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang
ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada,
Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai.
Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di
desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya.
Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan
keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil
menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan
anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya
raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Setelah
beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan
kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya
yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya,
melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada
dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau
yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.
Malin
Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup
dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin
yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. "Malin
Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan
kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi Kundang segera
melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita tak
tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang
pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena
malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping.
"Wanita itu ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya
seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan
hartaku", sahut Malin kepada istrinya.
Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata "Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar